banner 728x250
Daerah  

Penutupan Jalur Pendakian ke Pura Pucak Mangu Selama Pujawali: Wujud Penghormatan terhadap Kesucian dan Tradisi Leluhur

banner 120x600
banner 468x60

Dalam rangka pelaksanaan Pujawali di Pura Pucak Mangu, pihak pengempon pura bersama masyarakat adat dan instansi terkait resmi menutup jalur pendakian menuju Pura Pucak Mangu untuk sementara waktu. Penutupan ini berlaku mulai 21 Oktober hingga 17 November 2025, mencakup dua jalur utama yaitu via Plaga, Kabupaten Badung, dan via Bedugul, Kabupaten Tabanan. Selama masa penutupan, jalur pendakian hanya dibuka khusus untuk kepentingan persembahyangan dan kegiatan keagamaan, sedangkan kegiatan wisata alam dan pendakian umum sementara dihentikan.

Keputusan penutupan sementara ini bukan tanpa alasan. Pura Pucak Mangu, yang terletak di kawasan hutan lindung di perbukitan Danau Beratan, Bedugul, merupakan salah satu pura penting dalam sistem Sad Kahyangan Jagat — enam pura utama yang menjadi penjaga keseimbangan spiritual di Pulau Bali. Pura ini memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi dan menjadi tujuan utama umat Hindu Bali untuk memohon ketenangan batin, kemakmuran, serta keseimbangan alam semesta. Oleh karena itu, setiap kali upacara Pujawali berlangsung, kawasan ini akan berubah menjadi tempat suci yang sepenuhnya difokuskan untuk pelaksanaan yadnya (persembahan suci).

banner 325x300

Menurut informasi dari pihak Desa Adat Plaga dan pengempon Pura Pucak Mangu, penutupan jalur dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap kesucian kawasan pura, sekaligus menjaga keamanan dan ketertiban selama prosesi keagamaan. Dalam tradisi Hindu Bali, Pujawali bukan sekadar serangkaian ritual sembahyang, melainkan momentum spiritual yang melibatkan ribuan umat dari berbagai daerah. Selama periode ini, arus umat yang datang ke Pura Pucak Mangu biasanya meningkat tajam, sehingga diperlukan pengaturan khusus agar kegiatan persembahyangan berjalan khidmat dan aman.

Pura Pucak Mangu sendiri dikenal memiliki akses pendakian yang menantang. Jalur via Plaga menempuh perjalanan sekitar 4 hingga 5 jam melewati hutan pegunungan yang rimbun, dengan kondisi jalan setapak yang licin terutama saat musim hujan. Sementara jalur via Bedugul menawarkan rute yang sedikit lebih pendek, namun medannya menanjak dan membutuhkan stamina ekstra. Karena itu, selama Pujawali, seluruh fokus diarahkan untuk kegiatan upacara, sementara aktivitas pendakian wisata ditiadakan demi menghindari potensi gangguan maupun risiko keselamatan bagi pengunjung yang tidak berkepentingan.

Pujawali di Pura Pucak Mangu biasanya berlangsung selama beberapa minggu, dimulai dengan prosesi melasti, dilanjutkan puncak karya, dan ditutup dengan nyegara gunung atau persembahyangan penutup. Selama rangkaian upacara, umat Hindu membawa banten (sesajen), perlengkapan upacara, serta mengiringi gamelan dan tarian sakral yang dipersembahkan kepada Ida Bhatara yang berstana di pura tersebut. Ritual ini dipercaya sebagai wujud penyucian alam semesta dan memperkuat hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan — nilai utama dalam konsep Tri Hita Karana.

Dalam wawancara dengan perwakilan pengempon pura, dijelaskan bahwa keputusan menutup jalur pendakian ini sudah melalui koordinasi bersama antara pihak desa adat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan pemerintah kabupaten terkait. Langkah ini juga untuk mencegah potensi kerusakan lingkungan di sekitar kawasan hutan lindung Pucak Mangu, mengingat peningkatan aktivitas manusia dapat berdampak terhadap kelestarian flora dan fauna di wilayah tersebut.

“Selama Pujawali, kawasan ini menjadi sangat sakral. Kami mohon kepada seluruh masyarakat dan wisatawan agar menghormati pelaksanaan upacara dan tidak melakukan pendakian untuk sementara waktu. Ini adalah waktu bagi umat untuk melakukan bhakti, bukan untuk wisata,” ujar salah satu pengempon pura saat ditemui di Desa Plaga.

Penutupan sementara ini juga menjadi momentum bagi pemerintah daerah dan komunitas pecinta alam untuk melakukan evaluasi terhadap pengelolaan jalur pendakian Pucak Mangu ke depan. Dalam beberapa tahun terakhir, jalur pendakian ini semakin populer di kalangan pendaki lokal dan mancanegara karena panorama menakjubkan dari puncaknya yang menawarkan pemandangan Danau Beratan, Gunung Catur, hingga dataran tinggi Bedugul. Namun, meningkatnya minat wisatawan tanpa pengawasan yang ketat menimbulkan kekhawatiran akan dampak lingkungan, seperti sampah pendaki, erosi jalur, dan gangguan terhadap habitat satwa liar.

Penutupan selama hampir satu bulan ini memberi waktu bagi pihak pengelola untuk melakukan pemulihan ekosistem jalur pendakian sekaligus memperkuat regulasi pengunjung ke depan. Menurut BKSDA Bali, salah satu rencana yang akan diterapkan setelah jalur dibuka kembali adalah penerapan sistem pendaftaran daring (online booking) dan pembatasan jumlah pendaki per hari untuk menjaga keseimbangan alam di kawasan Pucak Mangu.

Selain itu, Pura Pucak Mangu juga memiliki peran penting dalam konteks spiritual dan ekologis Bali. Lokasinya yang berada di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut menjadikannya simbol hubungan manusia dengan alam yang dijaga kesuciannya secara turun-temurun. Para sulinggih (pendeta Hindu) menyebut pura ini sebagai tempat pemujaan Ida Bhatara Hyang Pasupati, manifestasi Tuhan sebagai penjaga Gunung dan sumber kekuatan alam. Oleh karena itu, segala bentuk kegiatan non-keagamaan di area pura dan sekitarnya biasanya dihentikan selama upacara berlangsung.

Bagi masyarakat sekitar, penutupan jalur pendakian ini bukan sekadar pembatasan, melainkan bentuk nyata penghormatan terhadap tradisi leluhur dan warisan spiritual. Masyarakat adat Desa Plaga dan Bedugul bahkan secara rutin terlibat dalam menjaga keamanan, mengatur parkir kendaraan umat, serta membantu proses logistik selama upacara berlangsung. Banyak di antara mereka yang dengan sukarela ikut menjaga pos-pos pendakian untuk memastikan tidak ada wisatawan yang masuk tanpa izin selama masa suci tersebut.

Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata juga mendukung langkah ini. Penutupan jalur dianggap sebagai contoh nyata sinkronisasi antara pelestarian budaya dan pengelolaan wisata spiritual yang beretika. Langkah ini sejalan dengan visi Bali menuju pariwisata yang berkelanjutan dan berakar pada kearifan lokal. “Wisata spiritual dan budaya harus berjalan seiring dengan penghormatan terhadap nilai-nilai kesucian. Tidak semua tempat bisa diakses setiap waktu, karena ada ruang dan waktu yang khusus bagi upacara keagamaan,” ujar seorang pejabat Disbud Bali.

Dengan adanya pengumuman resmi ini, para pendaki, wisatawan, dan agen perjalanan diimbau untuk menyesuaikan jadwal perjalanan dan tidak merencanakan kegiatan pendakian ke Pura Pucak Mangu selama periode penutupan. Pemerintah daerah juga mengimbau agar wisatawan dapat beralih sementara ke destinasi alternatif di sekitar Bedugul seperti Danau Beratan, Kebun Raya Eka Karya, atau Desa Wisata Candikuning, yang tetap buka dan dapat dikunjungi tanpa mengganggu kegiatan keagamaan.

Setelah 17 November 2025, jalur pendakian akan kembali dibuka untuk umum dengan pengawasan tambahan dan prosedur pembersihan kawasan pasca-upacara. Diharapkan, pembukaan jalur nanti bukan hanya menandai selesainya rangkaian Pujawali, tetapi juga menjadi awal baru bagi pengelolaan wisata spiritual di Pucak Mangu yang lebih tertib, berkelanjutan, dan menghormati nilai-nilai sakralitas.

Penutupan jalur ini menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa di Bali, antara alam, budaya, dan spiritualitas tidak dapat dipisahkan. Ketika umat melakukan Pujawali di Pura Pucak Mangu, bukan hanya umat manusia yang berdoa—tetapi seluruh alam turut disucikan. Karena itu, menghormati masa penutupan jalur bukanlah kehilangan kesempatan berwisata, melainkan bagian dari menjaga keseimbangan dan harmoni yang menjadi roh sejati Pulau Dewata.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *