Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali melaporkan bahwa setelah dua bulan berturut-turut mengalami deflasi, yakni pada Agustus dan September 2025, Provinsi Bali kini mencatat inflasi bulanan sebesar 0,16 persen pada Oktober 2025. Kondisi ini menandakan adanya pergerakan harga barang dan jasa yang relatif stabil dan terkendali di tengah dinamika ekonomi global dan domestik.
Kepala BPS Provinsi Bali, Agus Gede Hendrayana Hermawan, dalam konferensi pers di Denpasar pada Senin (3/11), menjelaskan bahwa inflasi yang terjadi bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Menurutnya, kenaikan harga bersifat wajar dan terkendali, serta justru menjadi sinyal positif bagi perputaran ekonomi daerah yang sempat melemah akibat tekanan deflasi pada dua bulan sebelumnya.
“Kami mencatat terjadi inflasi bulan ke bulan sebesar 0,16 persen. Jika diingat, dua bulan terakhir kita mengalami deflasi atau penurunan harga, dan bulan Oktober ini kita mengalami inflasi yang relatif rendah. Jadi ini bukan tanda gejala negatif, justru menunjukkan pergerakan harga yang sehat,” ujar Agus Gede.
Ia menambahkan bahwa berdasarkan tren historis periode 2022–2025, bulan Oktober memang cenderung mengalami inflasi ringan karena adanya peningkatan aktivitas ekonomi menjelang akhir tahun. Kenaikan harga di periode ini umumnya dipengaruhi oleh tingginya permintaan masyarakat terhadap kebutuhan rumah tangga, bahan pangan, serta sektor pariwisata yang mulai pulih menjelang musim liburan.
“Kalau kita lihat pola tahun-tahun sebelumnya, Oktober memang periode di mana aktivitas ekonomi meningkat, terutama dari sisi pariwisata dan konsumsi masyarakat lokal. Karena itu, pergerakan harga yang terjadi bisa dibilang terkendali dan alami,” sambungnya.
Menurut data BPS, deflasi pada Agustus 2025 tercatat sebesar 0,39 persen, disusul deflasi ringan 0,01 persen pada September 2025. Dengan demikian, inflasi 0,16 persen pada Oktober menjadi sinyal perbaikan setelah dua bulan berturut-turut terjadi penurunan harga.
Agus menjelaskan bahwa kontribusi utama terhadap inflasi Oktober berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau, khususnya komoditas cabai rawit, beras, dan ikan segar, yang mengalami kenaikan harga akibat faktor pasokan dan cuaca. Sementara itu, beberapa kelompok pengeluaran seperti transportasi dan perumahan juga memberikan sumbangan kecil terhadap inflasi seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa tingkat inflasi Bali masih tergolong rendah dan terkendali jika dibandingkan dengan rata-rata nasional. Secara tahunan (year on year), inflasi Bali tercatat masih di bawah 3 persen, sehingga masih berada dalam target pemerintah dan Bank Indonesia yang menetapkan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 2,5 ± 1 persen.
“Kondisi ini menunjukkan kestabilan ekonomi daerah yang cukup baik. Inflasi yang rendah namun positif menandakan bahwa daya beli masyarakat tetap terjaga, sektor perdagangan dan jasa juga mulai menggeliat,” jelasnya.
BPS menilai bahwa inflasi ringan tersebut juga didorong oleh faktor pemulihan pariwisata dan peningkatan permintaan domestik, terutama di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung yang menjadi pusat kegiatan ekonomi. Kembalinya wisatawan mancanegara dan meningkatnya kegiatan event budaya turut mendorong perputaran uang di masyarakat.
Sementara itu, pada sisi lain, pemerintah daerah dan Bank Indonesia Kantor Perwakilan Bali terus memperkuat koordinasi dalam menjaga stabilitas harga melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Upaya yang dilakukan meliputi penguatan rantai pasok pangan, peningkatan cadangan beras pemerintah (CBP), serta intervensi pasar untuk menekan harga bahan pokok apabila terjadi lonjakan harga di tingkat konsumen.
Agus juga mengingatkan bahwa menjelang akhir tahun, tantangan utama adalah menjaga agar inflasi tidak melonjak tajam akibat musim hujan dan tingginya konsumsi saat Natal dan Tahun Baru. Ia berharap sinergi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat dapat menjaga keseimbangan antara permintaan dan pasokan.



















